<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d1882778890321456977\x26blogName\x3dThe+Other+Side+of+...\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://s0107.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://s0107.blogspot.com/\x26vt\x3d7192729116740034474', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Jakarta, Indonesia [GMT +07.00]

STOP GLOBAL WARMING! LET'S SAVE OUR EARTH NOW!!

Camelia

-- Ebiet G. Ade --

(I)

dia Camelia
puisi dan pelitamu
kau sejuk seperti titik embun membasah di daun jambu
di pinggir kali yang bening

sayap-sayapmu kecil lincah berkepak
seperti burung camar
terbang mencari tiang sampan
tempat berpijak kaki dengan pasti
mengarungi nasibmu
mengikuti arus air berlari

dia Camelia
engkaukah gadis itu
yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di setiap tidurku
datang untuk hati yang kering dan sepi
agar bersemi lagi
hmm ... bersemi lagi

kini datang mengisi hidup
ulurkan mesra tanganmu
bergetaran rasa jiwaku
menerima karunia-Mu

Camelia oh Camelia
Camelia oh Camelia
Camelia oh Camelia


(II)

gugusan hari-hari
indah bersamamu Camelia
bangkitkan kembali
rinduku mengajakku kesana

inginku berlari
mengejar seribu bayangmu, Camelia
tak peduli 'kan kuterjang
biar pun harus kutembus padang ilalang

tiba-tiba langkahku terhenti
sejuta tangan t'lah menahanku
ingin kumaki mereka berkata
tak perlu kau berlari
mengejar mimpi yang tak pasti
hari ini juga mimpi
maka biarkan ia datang
di hatimu ...
di hatimu ...


(III)

di sini di batu ini
akan kutuliskan lagi
namaku dan namamu

maafkan bila waktu itu
dengan tuliskan nama kita
kuanggap engkau berlebihan

sekarang setelah kau pergi
kurasakan makna tulisanmu
meski samar tapi jelas tegas
engkau hendak tinggalkan kenangan
dan kenangan

di sini kau petikkan kembang
kemudian engkau selipkan
pada tali gitarku

maafkan bila waktu itu
kucabut dan kubuang
kau pungut lagi dan kau bersihkan

engkau berlari sambil menangis
kau dekap erat kembang itu
sekarang baru aku mengerti
ternyata kembangmu kembang terakhir
yang terakhir

oh Camelia
katakanlah 'ni satu mimpiku
oh oh oh oh oh, Camelia
maafkanlah s'gala khilaf dan salahku

di sini
di kamar ini
yang ada tinggal gambarmu
kusimpan dekat dengan tidurku
dan mimpiku


(IV)

senja hitam di tengah ladang
di hujung pematang kau berdiri
putih di antara ribuan kembang
langit di atas rambutmu
merah tembaga
engkau memandangku

bergetar bibirmu memanggilku
basah dipipimu air mata
kerinduan
kedamaian
oh ...

batu hitam di atas tanah merah
di sini akan kutumpahkan rindu
kugenggam lalu kutaburkan kembang
berlutut dan berdoa
surgalah di tanganmu, Tuhanlah di sisimu

kematian hanyalah tidur panjang
maka mimpi indahlah engkau
Camellia
Camellia
oh ...

pagi, engkau berangkat hati mulai membatu
malam, kupetik gitar dan terdengar
senandung ombak di lautan
menambah rindu dan gelisah
adakah angin gunung
adakah angin padang
mendengar keluhanku
mendengar jeritanku
dan membebaskan nasibku
dari belenggu sepi

Labels:

Monday, July 19, 2010 posted by Usman Didi Khamdani

Asmaradana

-- Goenawan Mohamad --

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.

taken from: goenawanmohamad.com

Labels:

Wednesday, December 16, 2009 posted by Usman Didi Khamdani



visitors
since Sept 1st 2007