<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d1882778890321456977\x26blogName\x3dThe+Other+Side+of+...\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://s0107.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://s0107.blogspot.com/\x26vt\x3d7192729116740034474', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
Jakarta, Indonesia [GMT +07.00]

STOP GLOBAL WARMING! LET'S SAVE OUR EARTH NOW!!

Anyone

-- Roxette --

Anyone who have a love close to this
Knows what I'm saying
Anyone who wants a dream to come true
Knows how I'm feeling

All I can think of is you and me
Doing the things I wanna do
All I imagine is heaven on earth
I know it's you

Anyone who ever kissed in the rain
Knows the whole meaning
Anyone who ever stood in the light
Needs no explaining

But everything more or less appears so meaningless
Blue and cold
Walking alone through the afternoon traffic
I miss you so

Anyone who felt like I do
Anyone who wasn't ready to fall
Anyone who loved like I do
Knows it never really happens at all
It's over when it's over
What can I do about it
Now that it's over

Everything more or less is looking so meaningless
And fades to grey
Lying awake in an ocean of teardrops
I float away

Anyone who ever felt like I do
Anyone who wasn't ready to fall
Anyone who loved like I do
Knows it never really happens at all
It's over when it's over
What can I do about it
Now it's all over


taken from: A-Z Lyrics Universe

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/anyone.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

Saturday, September 29, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

Reason

-- Jung Ilyung --

nae geh dwee do la suh ji ma lah yo
na eh noon eul bo ah yo
on se sang ha yak don't geu ddae eh yak sok ee juh na yo
wae nal po gi ha ryuh go ha jyo
geu daen geu geh shim na yo
nae geh man ee ruh kae uh ryuh oon il in gun ga yo

chuh eum boo tuh oo ri neun shi jak dweh uh sun an dweh neun sa rang ee ra go
noon mool suk in ae wun ee duh ook geu dae reul noh eul soo ga om na yo

* nae ge suh geu dae neun sa ra jyuh sun an dweh neun bweet chee yus seum eul ah na yo
geu dae ga dduh na myun na eui mo deun se sang do sa ra jin da neun gul ee ji neun ma la yo
soom eul swi go ship uh yo geu dae sa rang an neh suh..

geu dae saeng gak man eu ro oot seum ee na yo na eh gen him i dweh uh yo
geu dae saeng gak man eu ro noon mool i na yo m


English Version:

Don't turn your back on me. Look in my eyes
When the whole world was all white,
Did you forget the promise we had then?
Why do you leave me now?
Is it easy for you to do so?
Is it only hard to me?

Since the beginning, our love has been wrong
With tears, I beg you not to abandon me anymore

* Do you know you should be the ever-lasting light for me?
Never forget when you leave, the whole world in my heart would also disappear
I want to breathe in the midst of your love....

I smile at the thought of you. It gives me strength
I cry at the thought of you. I became scared of everything

taken from: AsianFanatic Forum

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/reason.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

posted by Usman Didi Khamdani

Ni Yao De Ai (The Love You Want)

-- Penny Dai --

Sui ran jing chang meng jian ni
Hai shi hao wu tou xu
Wai mian zheng zai xia zhe yu
Jing tian shi xing qi ji
BUT I DON'T KNOW
Ni qu na li

* Sui ran bu ceng huai yi ni
Hai shi tan te bu ding
Shui shi ni de na ge wei yi
Yuan liang wo huai yi zi ji

~ Wo ming bai Wo yao de ai
Hui ba wo chong huai
Xiang yi ge xiao hai
Zhi dong zai ni huai li huai
Ni yao de ai
Bu zhi she yi lai
Yao xiang ge da nan hai
Feng chui you ri sai
Sheng huo zi you zi zai

Repeat *~,~


English Version:

Although I often dream of you
I still have no idea
It's raining outside
Which day is it today
But I don't know
Where you went

* Although I have never doubted you
I still feel uneasy
Who is your one and only
Forgive me for doubting myself

~ I understand The love I want
Will spoil me
Like a little child
Who only knows how to be bad in your arms
The love you want
Is not just reliance
Must be like a man
Even in bad weather
Leads a carefree life

Repeat *~,~


Indonesian Version:

Walaupun sering aku memimpikanmu
Aku masih tidak mengerti
Sekarang turun hujan diluar
Tetapi aku tak tahu
Kemana engkau pergi

* Meskipun aku tak pernah ragu padamu
Tapi aku masih merasa tak enak
Siapakah yang menjadi satu dan selamanya untukmu
Maafkan aku karena aku ragu akan diriku

~ Aku mengerti cinta yang aku inginkan
Akan memanjakanmu
Sperti anak kecil
Yang tahu cara tuk menjadi seorang yang jahat dipelukmu
Cinta yang kau inginkan
Tidak hanya sebuah kepercayaan
Kau harus menjadi seorang pria Walau dalam keadaan susah
Menjalani kehidupan yang bebas

Repeat *~,~

taken from: .: Meteor Garden I : Wo Yao Te Ai - Hua Ce Lei :.

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/ni_yao_de_ai_piano.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

posted by Usman Didi Khamdani

Berhala di Hutan Kayu

-- M. Shoim Anwar --

Dengan kapak berkilat-kilat lelaki itu mendekati patung di pusat kota. Meski usianya sudah tidak muda lagi, langkahnya masih tampak perkasa dan semangatnya membara. Butir-butir keringat di kening berkilauan memantulkan sinar matahari. Dari balik kaca mata bening yang dikenakan, sorot mata lelaki itu menyiratkan keyakinan berlipat.

"Telah ditanamkan sampah di kota-kota peradaban. Dan inilah kapak Ibrahim hamba!"1) katanya sambil mengacungkan benda itu ke arah langit.

Patung sosok perempuan itu berdiri menjulang. Rambutnya panjang mengurai. Telapak kakinya menumpu di pelataran beton, sementara kedua tangannya membuka seperti tengah menyambut orang yang akan memeluknya. Bagian-bagian tubuh patung itu tergambar dengan detail. Tanpa ada yang disembunyikan. Di tengah kota yang megah, patung itu hadir tanpa busana sesobek pun.

Di depan patung, dengan jarak tak lebih dari seratus meter, terdapat masjid besar kebanggaan warga kota. Posisi patung benar-benar berhadapan dengan pintu masjid. Antara keduanya dipisahkan oleh tanah lapang. Setiap orang yang datang dan pulang dari masjid pasti berpapasan dengan patung tersebut. Kondisi ini sudah lama menjadi bahan pembicaraan. Tapi hingga hari ini belum ada keputusan.

"Jadi, Pak Tais akan memulainya sekarang?" tanya Waidi.

"Tunggu apa lagi? Kita memang telah merdeka. Tapi itu bukan segalanya. Gerakan Syahwat Merdeka mau mengikis habis budaya malu!" jawab lelaki yang dipanggil Pak Tais itu bersemangat.

"Memang," Waidi mengangguk-angguk, "nilai-nilai kesucian yang ditegakkan dengan susah payah selama berabad-abad oleh para nabi, wali, dan orang-orang saleh mau diruntuhkan."

"Kita tidak mencari sensasi. Dari Ibrahim sampai sekarang tugas kita adalah menghancurkan berhala kemungkaran dengan tangan, mulut, dan hati kita!"

Keduanya berjalan ke arah patung. Cuaca sangat panas, tapi di atas sana terlihat mendung menggantung sebagai pertanda akan hujan. Di kejauhan sudah terdengar ada geluduk. Awalnya memang tak ada yang tahu rencana pembangunan patung tersebut. Tiba-tiba saja kawasan yang dikenal sebagai Hutan Kayu ini dibabat dan dipagari seng keliling. Konon ada tiga belas aliansi yang melakukan aktivitas di dalamnya. Dari dalam pagar itu sering keluar-masuk beberapa Perempuan Ayu. Tak jelas, apakah para Perempuan Ayu itu ikut tidur di situ atau tidak. Baik yang laki maupun perempuan, omongan mereka kerap terdengar sangat jorok. Di dekat tempat itu bahkan pernah ditemukan buku-buku cerita yang kelewat jorok serta kumpulan puisi dengan gambar alat kelamin di sampul depannya.

Pada suatu hari, saat pembangunan masih berlangsung dahulu, dua laki-laki bernama Ahmad dan Rada yang mulanya bekerja di situ menyatakan mengundurkan diri secara terbuka. Keduanya menyatakan tidak sepaham dengan aliansi di dalam. Dengan mundurnya dua orang tersebut semakin sempurnalah gerakan aliansi itu. Maka, kata-kata jorok pun semakin sering terdengar di situ. Beberapa bulan setelah itu pagar yang mengelilingi Hutan Kayu itu dibongkar. Bonggol-bonggol kayu masih tampak di sana-sini dengan ketinggian sekitar satu meter. Terlihat ada bangunan yang masih diberi selubung di kawasan tersebut. Banyak yang penasaran menanti selubung itu dibuka. Dan, benar, tiga hari setelah itu selubung pun dibuka. Ternyata dia adalah patung telanjang! Itulah yang menyulut Pak Tais mengasah kapaknya.

Terlihat seorang lelaki, Hudat namanya, dengan langkah terburu-buru mendekati Pak Tais dan Waidi dari arah belakang.

"Kau tidak bisa menghancurkan patung dengan mengatasnamakan Tuhan atau agama dengan tafsir seperti itu!" Hudat melontarkan kata-katanya dan menuding-nuding. Pak Tais mengeryit dan meninggikan kaca matanya.

"Terus?" Pak Tais menyela sambil mengangkat kapaknya. Dia memandang ke lelaki yang rambutnya dicat merah itu.

"Justru patung itu tercipta sebagai pancaran dari ayat-ayat Tuhan."

"Ya, itu benar!" seorang perempuan bernama Mariani yang datang menyusul Hudat ikut menimpali. "Dan kami sudah sepakat sebelum berkarya bersama."

Tiba-tiba datang lagi lelaki bernama Paisi ke kerumuman itu. Tubuh lelaki ini kecil tapi dia menampakkan keberanian juga. Mata Paisi memandang ke kerumunan itu secara bergantian. Kali ini menancap tepat ke kening Hudat. Paisi dengan cepat melompat ke bonggol kayu dan berdiri di atasnya.

"Kamu paham dengan yang kamu ucapkan tentang ayat-ayat Tuhan? Jangan sembrono! Tuhan telah memberi contoh simbol dan metafor untuk mengungkapkan banyak hal," Paisi menuding muka Hudat. "Pertentangan kalian adalah mencerminkan ciri zaman, di mana kaum muda yang progresif berhadapan dengan kaum tua yang merasa mapan!"

"Maaf," Pak Tais memotong sambil menempelkan kapak ke dadanya, "ini bukan perkara generasi, tapi perkara tanggung jawab moral terhadap bangsa!"

"Apa bukan karena selama ini Anda sering diundang ke sekolah-sekolah?" Benis, yang ternyata baru datang di belakang Hudat, nyeplos juga bicaranya.

"Itu wujud tanggung jawab kami untuk ikut membangun generasi muda di sekolah."

"Menyebalkan!" Benis melengos.

"Kita sudah terlalu jauh meninggalkan nilai-nilai agama," Pak Tais menjawab lagi.

"Jangan pakai pendekatan agamalah! Ini urusan seni!" terdengar suara membelah. Ternyata Sitompu yang baru muncul ikut menukas.

"Oke kalau nggak boleh," Pak Tais menurunkan nadanya, "sekarang bagaimana reaksi Anda andaikata yang dibuat patung telanjang itu adalah sosok ibumu? Malu apa ndak kalian?"

Suasana sepi beberapa saat. Tak ada yang bicara. Pak Tais menatap wajah-wajah yang mengelilingi dirinya. Udara terasa makin gerah karena ada mendung menyumpal di langit. Bunyi geluduk terdengar makin kerap. Angin tiba-tiba menerpa mengusung gulungan-gulungan debu ke arah mereka. Terdengar kata-kata kotor meluncur.

"Kalian sudah over dosis. Kalian menginginkan kebebasan, tapi di saat yang sama kalian justru kehilangan rasa malu sehingga berani mempertontonkan kemaluan sendiri. Ini sudah maniak!" Pak Tais kembali menandaskan.

"Kita berada dalam ruang kreatif yang berbeda dan tak bisa dipertemukan. Mestinya kita saling menghargai," Mariani kembali menimpali.

"Itu kalau Anda hidup sendiri. Ini ruang publik. Jadi tak ada yang bebas nilai. Setiap orang punya rasa tanggung jawab pada kepentingan umum," Waidi menuding ke Mariani.

Mariani mendelik ke arah Waidi. Perempuan itu dengan cepat melompat ke bonggol kayu dan berkacak pinggang. "Apa kamu kira kami tak punya tanggung jawab!"

"Tanggung jawab kalian hanya sebatas tanggung jawab kreatif individual. Tapi tak menyentuh tanggung jawab sosial. Sementara patung itu kalian pajang untuk dilihat masyarakat. Itu namanya egois. Sama saja dengan membuang limbah ke tengah perkampungan!" Pak Tais kali ini menaikkan tensi omongannya.

Mariani dengan cepat meloncat turun. Dia dan yang lain segera ambil posisi mengelilingi Pak Tais dan Waidi sambil berputar-putar. Kedua lelaki yang merasa dikepung itu ikut berputar sambil mengawasi langkah demi langkah. Sementara
Hudat yang napasnya terlihat ngos-ngosan akan merebut kapak di tangan Pak Tais.

"Semakin bernafsu kalian merebut benda ini, saya akan semakin berusaha keras mempertahankan," Pak Tais, sambil tersenyum, menggenggam kapaknya makin erat. Dia menoleh ke kiri ke kanan, dilemparkannya kapak itu ke udara, kemudian ditangkapnya kembali dengan tangan kiri seperti hendak mempertontonkan kepiawaiannya.

"Jangan kau teruskan niatmu!" Benis menuding kencang.

"Tak ada yang dapat memenjarakan niat kami," Waidi menepuk-nepuk dadanya. Dengan sekali hentakan dia pun telah berada di atas bonggol kayu. Kumis dan rambut keritingnya tampak makin tebal. Terdengar mendung menggelinding di atas kepala. Cuaca meredup.

Sekonyong-konyong perhatian mereka terbelah. Terlihat seorang lelaki berlari mendekat sambil berteriak-teriak. Ternyata dia adalah Muhid. Dia segera membelah kerumunan dan berdiri tepat di depan Pak Tais.

"Kau… akan menghancurkan patung itu…?" Muhid terbata-bata. "Persis seperti aksi si komunis Njoto menentang yang cabul-cabul dulu. Sekalian tiru saja dia!"

"Aha, dulu kau pernah bilang gerakan komunis masih remang-remang. Sekarang, Bung, kau omongkan itu dengan fasih. Ada hubungan apa kamu?" Pak Tais manggut-manggut. "Kau sudah baca buku-buku sejarah?"

"Tentu!"

"Ketahuilah Bung, komunis melakukan propaganda itu karena ambisi politik dan ingin merebut kekuasaan. Toh akhirnya mereka melakukan pembunuhan masal. Kami sangat jauh dari itu. Niat kami hanya karena Allah."

Muhid tak menjawab. Sekarang dia memepet Pak Tais dan memegang lengannya. Mata keduanya bertatapan. Waidi meloncat turun dari bonggol. Dengan tak kalah beraninya Waidi ikut menghadang. Kali ini dia merebut posisi Pak Tais dan ganti mengadu dada dengan Muhid. Sementara Paisi terlihat canggung dan agak takut. Di sebelahnya Hudat berkacak pinggang tinggi-tinggi.

"Ketahuilah!" Waidi menggeretak, "siapa pun yang memperjuangkan hukum Tuhan memang banyak dimusuhi. Ibrahim dibakar dengan api, Musa dikejar-kejar oleh Firaun, Isa disiksa, dan Muhammad dilempari dengan batu dan kotoran."

"Apa-apaan, jangan sok suci!" terdengar suara memotong. Ternyata Bihat datang juga. "Persetan semuanya!"

"Tuhan yang mengetahui hati kami," Waidi membalas.

Saat itu pula terdengar langkah mendebam-debam. Persis berbarengan dengan bunyi geluduk di langit. Kerumunan terhenyak dan mereka mengalihkan perhatian. Terlihat seorang lelaki berlari mendekat. O, ternyata yang datang adalah Wowo. Dengan napas seperti kuda Wowo membelah kerumunan. Dia langsung mengambil posisi Pak Tais dan Waidi. Ditatapnya mata mereka satu per satu. Bihat yang mencoba mendekat disepak minggir. Bihat tampak ketakutan dan mengusap-usap kepalanya yang gundul. Wowo, dengan jenggot yang lebat, tampak meradang dan berani. Dia pun berujar, "Kalian jangan coba-coba mencemari budaya dan moral bangsa kami. Kami adalah Bumi Putra. Kalian agen imperialis yang menyebarkan virus budaya dan seks. Kalian menghancurkan peradaban! Nilai-nilai budaya kalian rusak. Maka jadilah kalian budak kebebasan yang tak berperadaban!"

Sontak Hudat menuding-nuding. Bibirnya kelihatan bergetar dan dadanya mengembang. Kata-kata pun meluncur darinya, "Kalian iri. Kalian telah kalah dalam pertempuran kreatif. Kalian tak mampu menandingi kami sehingga kalian menggunakan dalil-dalil moral untuk menyerang kami. Kuno!"

"Kami tidak akan menghalalkan segala cara!" Wowo ganti menuding. "Kalian telah menggunakan dana dari dewan kesenian untuk kepentingan sendiri. Temanku Saut juga pernah omong ini. Kalian telah mengelabuhi pemerintah dan rakyat!"

"Itu kata-kata khas orang yang tak mampu membangun network. Bisanya menuduh dan selalu curiga! Bilang juga sama Saut!" Hudat meloncat pula ke atas bonggol kayu dan menepuk-nepuk dada, "Ini Hudat!"

"Ketika hendak melaksanakan perintah Tuhan," Pak Tais menukas, "Ibrahim dan Ismail digoda oleh para iblis agar menggagalkan niatnya melaksanakan perintah Tuhan. Maka, Ibrahim pun melempari iblis itu dengan batu. Iblis lari terbirit-birit."

"Tapi, kami tak akan lari!" Hudat membalas dengan cepat.

"Karena rasa malu kalian sudah tergadai!"

"Apa maksudmu?" Mariani menuding.

"Pikirkan itu!" Waidi membalasnya.

Cuaca makin meredup. Terdengar geluduk menggelinding di atas ubun-ubun seperti batu-batu besar meluncur. Awan hitam berarak ke satu titik. Kilat pun terlihat membelah. Suasana dengan cepat menjadi gelap. Geluduk sontak pecah menggelegar. Mereka yang tadi berdebat berhenti dengan sendirinya. Ditatapnya langit yang pekat di atas kepala. Petir dengan ganas menyambar seperti pecut menghajar. Mereka pun berlarian. Beberapa saat setelah itu hujan seperti dicurahkan dari langit. Hutan Kayu dan patung itu terbebat hujan.

Hujan telah lama mengguyur Hutan Kayu dengan lebatnya. Sudah hampir dua jam, tapi belum ada tanda-tanda mereda. Tanah yang gundul itu mengalirkan air keruh hingga ke halaman masjid. Dulu, ketika pohonnya masih lebat, tak pernah terjadi seperti ini. Air hujan terus mengangkut berbagai kotoran ke halaman masjid. Kecemasan mulai merambat seiring semakin naiknya permukaan air. Ini juga terjadi gara-gara sungai yang melewati Hutan Kayu ditimbun untuk fondasi patung. Akibatnya, kini air meluber ke mana-mana.

Air menggenangi jalanan hingga setinggi lutut. Tak bisa dihindarkan. Kemacetan terjadi sepanjang ruas jalan. Klakson kendaraan meraung-raung. Banjir terus menggempur. Maka, mogoklah semua kendaraan. Teriakan-teriakan terdengar di sana-sini.

Apa yang terjadi? Terlihat warga sekitar mulai kehabisan kesabaran. Di bawah guyuran hujan, mereka beramai-ramai mendatangi Hutan Kayu dengan membawa berbagai peralatan seperti cangkul, linggis, sekop, ganco, parang, bahkan juga terlihat pedang, celurit, serta potongan-potongan besi. Mereka berteriak-teriak makin keras. Anggota mereka juga makin bertambah. Dengan kaki-kaki terendam air hingga paha, mereka mulai tiba di Hutan Kayu dan langsung mengepung patung. Berbagai senjata diacung-acungkan ke arah patung. Aba-aba pun diteriakkan.

"Stop! Hentikan!" tiba-tiba terdengar suara datang. Orang-orang seketika menoleh ke belakang. Ada serombongan lain datang mendekat. Rombongan terakhir ini ternyata dimotori oleh Hudat beserta kawan-kawannya yang terlibat perdebatan sebelum hujan tadi. Mereka datang dengan melepas baju.

"Jangan coba-coba hancurkan patung!" teriak Hudat, "Kita harus bisa hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan! Hargai ekspresi dan karya orang lain!"

"Apa maksudnya?" salah seorang ganti bertanya.

"Jangan melihat persoalan secara hitam putih!"

Tiba-tiba Hudat melihat Pak Tais dan Waidi datang mendekat. Tidak ada lagi kapak di tangan Pak Tais. Sementara hujan belum menipis. Aliran air terasa makin deras karena gelontoran dari atas.

"Kau pasti yang menggerakkan orang-orang kampung itu!" Hudat menuding ke Pak Tais, "Kau telah memperalat dan menunggangi mereka!"

"Maaf Bung, kami sama sekali tidak melakukan itu."

"Kura-kura dalam perahu!" Bihat ikut menuding.

"Kau gunakan pengaruhmu untuk menghasut mereka!" teriak Mariani sambil menyingkap roknya hingga ke lekuk paha.

"Kau telah melakukan provokasi pada mereka. Sejarah berulang. Ketika akal sehat sudah melemah, cara culas akan ditempuh. Ingatlah kepicikan Ken Arok, Jaka Tingkir, Napoleon, atau Musolini!" Hudat makin kencang.

"Ditunggangi!" Benis berteriak.

"Kami tak kenal kamus tunggang-mengunggang," Waidi membalas.

"Mereka, orang-orang yang tak mengenal hakikat seni dan keindahan, tidak selayaknya dilibatkan dalam wilayah ini. Ini pembodohan!" potong Bihat.

"Maaf," salah seorang warga kampung ikut angkat bicara, "perdebatan kalian soal karya seni sudah selesai. Biar sejarah juga yang menjawabnya. Ketika roh kalian sudah tinggal di tenggorokan dan maut sebentar lagi menjemput, saat itulah kalian menemukan jawaban apakah yang kalian perdebatkan selama ini berguna atau sia-sia. Saat itu pula kalian akan menemukan jawaban apakah kalian berada di pihak yang menang atau kalah. Dan, aku juga tahu, kata-kataku ini pun akan kalian perdebatkan kembali, bahkan sambil menendang kursi, melempar botol minuman, mencaci-maki, serta mengeluarkan kata-kata kotor."

"Ayo mulai!" Terdengar teriakan keras.

"Kita sudah dikepung banjir!"

"Hampir tenggelam!"

"Bongkar!"

Dengan cepat orang-orang itu mengayunkan peralatannya masing-masing. Cangkul, sekop, linggis, dan ganco, dengan gesit menembus tanah. Sungai yang terletak di bawah pelataran patung itu akan digali kembali. Mereka lakukan itu dengan cepat dan semangat. Mereka berpacu dengan waktu. Banjir semakin menggelontor. Teriakan di sana-sini terus terdengar. Dibuatlah tanggul secara melingkar. Fondasi patung itu digali beramai-ramai. Air yang menggenang di galian dikuras. Beberapa saat kemudian patung itu didorong. Belum juga goyah. Bangunan patung itu ternyata memakai fondasi cakar ayam. Maka, galian pun diperlebar. Teriakan-teriakan makin keras terdengar. Terlihat seorang naik ke pundak bangunan. Tambang besar kemudian diikatkan ke leher patung. Sementara yang lain menarik tambang itu ke arah utara.

"Ayo, tariiik…!" Terdengar komando.

Tambang itu pun ditarik bersama-sama. Masih alot. Galian diperdalam lagi. Hujan masih menggila. Banjir makin meluas. Kendaraan di jalan sudah tampak seperti perahu. Cuaca amat dingin, namun orang-orang semakin terlecut kerjanya. Terdengar kembali teriakan-teriakan. Mereka yang berada di bawah patung berlarian menjauh.

"Satu…dua…tiga! Tariiik…!!!"

Kepala patung terlihat mulai bergerak. Orang-orang makin bernafsu. Sedikit demi sedikit bangunan itu mulai bergeser dari tegaknya. Sekarang condong ke utara. Tenaga makin dikerahkan. Patung itu tampak oleng. Bersamaan dengan teriakan-teriakan yang makin keras patung itu pun tumbang ke arah utara dengan bunyi mendebam. Orang-orang pun bersorak. Sungai yang melintas di bekas bangunan kemudian dibedah. Air pun menerjang.

Esok paginya, traktor besar mengusung patung itu ke arah selatan kota. Kondisi berhala itu masih utuh dari ujung kepala hingga fondasi. Benda itu diusung dalam posisi telentang. Sementara kedua tangannya terlihat menengadah ke langit seperti hendak mengadukan nasibnya. Orang-orang melihatnya sepanjang perjalanan. Entah siapa yang menggores, di tubuh patung itu terbaca sebuah tulisan: "Berdebatlah terus di garis batas pernyataan dan impian"2).

Hudat, Bihat, Benis, Muhid, dan Mariani menatapnya dari balik pagar. Paisi berdiri di tikungan. Sementara di perempatan jalan terlihat Pak Tais, Waidi, dan Wowo bersedekap tangan. Bunyi traktor terdengar gemeretak mengeremus kerikil sepanjang jalan. Konon patung itu akan ditancapkan di pinggir kolam renang di perbatasan kota.

Surabaya, September 2007


Catatan:

1) Disadur dari baris sajak "Kapak Ibrahim Hamba" karya Emha Ainun Nadjib
2) Disadur dari baris sajak "Krawang-Bekasi" karya Chairil Anwar


taken from: Masyarakat Sastra Internet

Labels:

Saturday, September 22, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

You Raise Me Up

-- Josh Groban --

When I am down and, oh my soul, so weary
When troubles come and my heart burdened be
Then I am still and wait here in the silence
Until you come and sit awhile with me

You raise me up so I can stand on mountains
You raise me up to walk on stormy seas
I am strong when I am on your shoulders
You raise me up to more than I can be

You raise me up so I can stand on mountains
You raise me up to walk on stormy seas
I am strong when I am on your shoulders
You raise me up to more than I can be

You raise me up so I can stand on mountains
You raise me up to walk on stormy seas
I am strong when I am on your shoulders
You raise me up to more than I can be

You raise me up so I can stand on mountains
You raise me up to walk on stormy seas
I am strong when I am on your shoulders
You raise me up to more than I can be

You raise me up...to more than I can be...

taken from: Lyrics

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/you_raise_me_up.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

Thursday, September 20, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

Jika

-- Melly Goeslaw & Ari Lasso --

Jika teringat tentang dikau
Jauh di mata dekat di hati
Sempat terpikir 'tuk kembali
Walau beda akan kujalani
Tak ada niat untuk selamanya pergi

Jika teringat tentang dikau
Jauh di mata dekat di hati
Apakah sama yang kurasa
Ingin jumpa walau ada segan
Tak ada niat untuk berpisah denganmu

* CHORUS : Jika memang masih bisa mulutku berbicara
Santun kata yang ingin terucap
Kan kudengar caci dan puji dirimu padaku
Kita masih muda dalam mencari keputusan
Maafkan daku ingin kembali
Seumpama ada jalan tuk kembali

Jika teringat tentang dikau
Jauh di mata dekat di hati
Tak ada niat untuk selamanya pergi

Jika teringat tentang dikau
Jauh di mata dekat di hati
Tak ada niat untuk berpisah denganmu

* REPEAT CHORUS (3X)

taken from: lirik lagu

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/jika.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

posted by Usman Didi Khamdani

That's Why

-- MIchael Learns to Rock --

Baby want you tell me why there is sadness in your eyes
I don't wanna say goodbye to you
Love is one big illusion I should try to forget
But there is something left in my head

You're the one who set it up
Now you're the one to make it stop
I'm the one who's feeling lost right now
Now you want me to forget every little thing you said
But there is something left in my head

* CHORUS : I won't forget the way you're kissing
The feelings so strong were lasting for so long
But I'm not the man your heart is missing
That's why you go away I know

You were never satisfied no matter how I tried
Now you wanna say goodbye to me
Love is one big illusion I should try to forget
But there is something left in my head

* REPEAT CHORUS

Sitting here all alone in the middle of nowhere
Don't know which way to go
There is so much to say now between us
There ain't so much for you
There ain't so much for me anymore

* REPEAT CHORUS

taken from: LYRICS

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/thats_why_you_go_away.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

posted by Usman Didi Khamdani

I Want to Spend My Lifetime Loving You

-- Tina Arena & Marc Anthony --

Moon so bright, night so fine
Keep your heart here with mine
Life's a dream we are dreaming

Race the moon, catch the wind
Ride the night to the end
Seize the day, stand up for the light

I want to spend my lifetime loving you
If that is all in life I ever do

Heroes rise, heroes fall
Rise again, win it all
In your heart, can't you feel the glory?

Through our joy, through our pain
We can move worlds again
Take my hand, dance the dance with me

I want to spend my lifetime loving you
If that is all in life I ever do
I will want nothing else to see me through
If I can spend my lifetime loving you

Though we know we will never come again
Where there is love, life begins
Over and over again

Save the night, save the day
Save the love, come what may
Love is worth everything we pay


taken from: The Lyric Archive

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/zorro.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

Tuesday, September 18, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

You Make My World so Colorful

-- Daniel Sahuleka --

morning sunshine in our room
now that room is back in tune
autumn start this day with a smile
and laugh at my beautiful love one
who's lying besides me

you so far away in your sleep
who can tell what dream you may dream
you don't know that i was drawing
with my finger on your sweet young face
vague as a meaning words

* you make my world so colorful
i never had it so good
my love i thank you for all the love
you gave to me

repeat *

like a summer breeze so soft
like a rose you bring me near
and i kiss your lips so sweet
soft like the rain and gentle as
the morning dew in may

though they said that i was wrong
but thank god my will so strong
i got you in the palm of my hand
everyday they tried to put me on
but i laugh at those who tried to hurt our love

* repeat till fade


taken from: Oldies Lyrics @ OldieLyrics.com

Labels:

posted by Usman Didi Khamdani

Lembayung Bali

-- Saras Dewi --

Menatap lembayung di langit Bali
Dan 'ku sadari Betapa berharga kenanganmu...
Di kala jiwaku tak terbatas
Bebas berandai mengulang waktu
*Hingga masih bisa 'ku raih dirimu
Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
Masa yang t'lah 'ku ingkari dan meninggalkanmu
Oo...cinta
Teman yang terhanyut arus waktu
Mekar mendewasa
Masih 'ku simpan suara tawa kita
Kembalilah sahabat lawasku
Semarakkan keheningan lubuk
**Hingga masih bisa 'ku rangkul kalian
Sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
Tegar melawan tempaan semangatmu itu
Oo...jingga
Repeat * & **
Hingga masih bisa 'ku jangkau cahaya
Senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah 'ku hentikan pasir waktu
Tak terbangun dari khayal kejaiban ini
Oo...mimpi
Andai ada satu cara'
Tuk kembali menatap agung suryamu
Lembayung Bali


taken from: Fortress of Solitude

Labels:

posted by Usman Didi Khamdani

Sometimes Love Just Ain't Enough

-- Patti Smith --

Now, I don't want to lose you
but I don't want to use you
just to have somebody by my side.
And I don't want to hate you,
I don't want to take you
but I don't want to be the one to cry.

And that don't really matter to anyone anymore.
But like a fool I keep losing my place
and I keep seeing you walk through that door.

(Chorus)

But there's a danger in loving somebody too much,
and it's sad when you know it's your heart you can't trust.
There's a reason why people don't stay where they are.
Baby, sometimes, love just aint enough.

Now, I could never change you
I don't want to blame you.
Baby, you don't have to take the fall.
Yes, I may have hurt you, but I did not desert you.
Maybe I just want to have it all.

It makes a sound like thunder
it makes me feel like rain.
And like a fool who will never see the truth,
I keep thinking something's gonna change.

(Chorus)

And there's no way home
when it's late at night and you're all alone.
Are there things that you wanted to say?
And do you feel me beside you in your bed,
there beside you, where I used to lay?

And there's a danger in loving somebody too much,
and it's sad when you know it's your heart they can't touch.
There's a reason why people don't stay who they are.
Baby, sometimes, love just ain't enough.

Baby, sometimes, love... it just ain't enough.
Oh, Oh, Oh, No


taken from: Lyrics

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/loveaint.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

posted by Usman Didi Khamdani

My Heart will Go on

-- Celine Dion --

Every night in my dreams
I see you, I feel you
That is how I know you go on

Far across the distance
And spaces between us
You have come to show you go on

Near, far, wherever you are
I believe that the heart does go on
Once more you open the door
And you're here in my heart
And my heart will go on and on

Love can touch us one time
And last for a lifetime
And never go till we're one

Love was when I loved you
One true time I hold to
In my life we'll always go on

Near, far, wherever you are
I believe that the heart does go on
Once more you open the door
And you're here in my heart
And my heart will go on and on

There is some love that will not
go away

You're here, there's nothing I fear
And I know that my heart will go on
We'll stay forever this way
You are safe in my heart
And my heart will go on and on


taken from: LYRICS

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/titanic.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

Saturday, September 15, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

Jembatan

-- Sutardji Calzoum Bachri --

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung air mata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi, dalam teduh pakewuh, dalam kilah dan isyarat tanpa makna

Maka aku pun pergi menatap pada wajah orang berjuta
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah para muda yang matanya letih menyimak daftar lowongan kerja
Wajah yang tercabik dalam pengap pabrik
Wajah legam para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase indah di berbagai plasa
Wajah yang diam-diam menjerit, melengking, melolong dan mengucap:
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu

Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita
Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?

Di lembah-lembah kusam pada pucuk bulan gersang dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian para saudara

Gerimis tak mampu mengucapkan kibarannya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
padamu negeri
air mata kami

taken from: Mencari keheningan Dell Coupon Codes

Labels:

posted by Usman Didi Khamdani

Boulevard

-- Dan Byrd --

I don't know why, you said goodbye
Just let me know, you didn't go forever my love
Please tell me why, you've made me cry
I beg you please all my money
If that what's you want me, too

Know haven't you that it would go so far
When you left me on that boulevard
Come again you would release my pain
And we could be lovers again

Just one more chance, another then
And let me feel it isn't real
That I've been loosing you
This sound will arive, within your eyes
Come back to me
and we will be happy together

Maybe today, I'll make you stay
A little while just for a smile
and love together
For I will show, a place I know
in Tokyo where we could be happy forever

taken from: Website of Tedi Heriyanto

Labels:

Friday, September 14, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

How do I Live

-- Thrisha Yearwood --

How do I,
Get through one night without you?
If I had to live without you,
What kind of life would that be?
Oh, I...
I need you in my arms, need you to hold,
You're my world, my heart, my soul,
If you ever leave,
Baby you would take away everything good in my life,
And tell me now
How do I live without you?
I want to know,
How do I breathe without you?
If you ever go,
How do I ever, ever survive?
How do I, how do I, oh how do I live?
Without you,
There'd be no sun in my sky,
There would be no love in my life,
There'd be no world left for me.
And I,
Baby I don't know what I would do,
I'd be lost if I lost you,
If you ever leave,
Baby you would take away everything good in my life,
And tell me now,
How do I live without you?
I want to know,
How do I breathe without you?
If you ever go,
How do I ever, ever survive?
How do I, how do I, oh how do I live?
Please tell me baby,
How do I go on?
If you ever leave,
Baby you would take away everything,
I need you with me,
Baby don't you know that you're everything,
Good in my life?
And tell me now,
How do I live without you,
I want to know,
How do I breathe without you?
If you ever go,
How do I ever, ever survive?
How do I, how do I, oh how do I live?
How do I live without you?
How do I live without you baby?

taken from: Song Lyrics

Labels:

Thursday, September 13, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

Demi Waktu

-- Ungu --

Aku yang tak pernah bisa lupakan dirinya
Yang kini hadir diantara kita
Namun ku juga takkan bisa menepis bayangmu
Yang slama ini temani hidupku

Maafkan aku menduakan cintamu
Berat rasa hatiku tinggalkan dirinya
Dan demi waktu yang bergulir di sampingmu
Maafkanlah diriku sepenuh hatimu
Seandainya bila ku bisa memilih

Kalau saja waktu itu ku tak jumpa dirinya
Mungkin semua tak kan seperti ini
Dirimu dan dirinya kini ada di hatiku
Membawa aku dalam kehancuran

taken from: Song Lyrics | Lirik Lagu

Labels:

posted by Usman Didi Khamdani

Goodbye

-- Air Supply --

I can see the pain living in your eyes
And I know how hard you try
You deserve to have much more
I can feel your heart and I simpathize
And I'll never criticize
All you've ever meant to my life

I don't want to let you down
I don't want to lead you on
i don't want to hold you back
From where you might belong

You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to say but goodbye

You deserve the chance at the kind of love
I'm not sure i'm worthy of
Losing you is painful to me

I don't want to let you down
I don't want to lead you on
i don't want to hold you back
From where you might belong

You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to say but goodbye

You would never ask me why
My heart is so disguised
I just can't live a lie anymore
I would rather hurt myself
Than to ever make you cry
There's nothing left to try
Though it's gonna hurt us both
There's no other way than to say goodbye

taken from: LYRICS

&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;lt;bgsound src="http://www.geocities.com/usmankhamdani/midi/goodbye.mid" loop="1"&amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;amp;gt;

posted by Usman Didi Khamdani

Global Warming (Pemanasan Global)

Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Planet Bumi telah menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.

Rata-rata temperatur permukaan Bumi sekitar 15°C (59°F). Selama seratus tahun terakhir, rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit). Para ilmuan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100. Kenaikan temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi), menimbulkan banjir di daerah pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau. Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar sehingga ilmuan-ilmuan ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini.

Efek Rumah Kaca

Energi yang menerangi Bumi datang dari Matahari. Sebagian besar energi yang membanjiri planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas dan menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan memantulkan kembali sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar; walaupun sebagian tetap terperangkap di atmosfer Bumi. Gas-gas tertentu di atmosfer termasuk uap air, karbondioksida, dan metana, menjadi perangkap radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Semua kehidupan di Bumi tergantung pada efek rumah kaca ini, karena tanpanya, planet ini akan sangat dingin sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi, bila gas-gas ini semakin berlebih di atmosfer, akibatnya adalah pemanasan Bumi yang terus berlanjut.


Mengukur Pemanasan Global

Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbondioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.

Dampak Pemanasan Global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.


Cuaca

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.


Tinggi Muka Laut

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.


Pertanian

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.


Hewan & Tumbuhan

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.


Kesehatan Manusia

Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria; persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperature meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, seperti demam dengue, demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari.


Perdebatan tentang Pemanasan Global

Tidak semua ilmuan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.

Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposphere, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.

Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.

Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.

Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposphere dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposphere yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.


Pengendalian Pemanasan Global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.


Menghilangkan Karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Gas karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.

Salah satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali.


Persetujuan Internasional

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbondioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbondioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbondioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbondioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.


taken from: Wikipedia Indonesia

Labels: ,

Saturday, September 8, 2007 posted by Usman Didi Khamdani

Eyes of a Blue Dog

-- Gabriel Garcia Marquez --


Then she looked at me. I thought that she was looking at me for the first time. But then, when she turned around behind the lamp and I kept feeling her slippery and oily look in back of me, over my shoulder, I understood that it was I who was looking at her for the first time. I lit a cigarette. I took a drag on the harsh, strong smoke, before spinning in the chair, balancing on one of the rear legs. After that I saw her there, as if she'd been standing beside the lamp looking at me every night. For a few brief minutes that's all we did: look at each other. I looked from the chair, balancing on one of the rear legs. She stood, with a long and quiet hand on the lamp, looking at me. I saw her eyelids lighted up as on every night. It was then that I remembered the usual thing, when I said to her: "Eyes of a blue dog." Without taking her hand off the lamp she said to me: "That. We'll never forget that." She left the orbit, sighing: "Eyes of a blue dog. I've written it everywhere."

I saw her walk over to the dressing table. I watched her appear in the circular glass of the mirror looking at me now at the end of a back and forth of mathematical light. I watched her keep on looking at me with her great hot-coal eyes: looking at me while she opened the little box covered with pink mother of pearl. I saw her powder her nose. When she finished, she closed the box, stood up again, and walked over to the lamp once more, saying: "I'm afraid that someone is dreaming about this room and revealing my secrets." And over the flame she held the same long and tremulous hand that she had been warming before sitting down at the mirror. And she said: "You don't feel the cold." And I said to her: "Sometimes." And she said to me: "You must feel it now." And then I understood why I couldn't have been alone in the seat. It was the cold that had been giving me the certainty of my solitude. "Now I feel it," I said. "And it's strange because the night is quiet. Maybe the sheet fell off." She didn't answer. Again she began to move toward the mirror and I turned again in the chair, keeping my back to her. Without seeing her, I knew what she was doing. I knew that she was sitting in front of the mirror again, seeing my back, which had had time to reach the depths of the mirror and be caught by her look, which had also had just enough time to reach the depths and return--before the hand had time to start the second turn--until her lips were anointed now with crimson, from the first turn of her hand in front of the mirror. I saw, opposite me, the smooth wall, which was like another blind mirror in which I couldn't see her-- sitting behind me--but could imagine her where she probably was as if a mirror had been hung in place of the wall. "I see you," I told her. And on the wall I saw what was as if she had raised her eyes and had seen me with my back turned toward her from the chair, in the depths of the mirror, my face turned toward the wall. Then I saw her lower he eyes again and remain with her eyes always on her brassiere, not talking. And I said to her again: "I see you." And she raised her eyes from her brassiere again. "That's impossible," she said. I asked her why. And she, with her eyes quiet and on her brassiere again: "Because your face is turned toward the wall." Then I spun the chair around. I had the cigarette clenched in my mouth. When I stayed facing the mirror she was back by the lamp. Now she had her hands open over the flame, like the two wings of a hen, toasting herself, and with her face shaded by her own fingers. "I think I'm going to catch cold," she said. "This must be a city of ice." She turned her face to profile and her skin, from copper to red, suddenly became sad. "Do something about it," she said. And she began to get undressed, item by item, starting at the top with the brassiere. I told her: "I'm going to turn back to the wall." She said: "No. In any case, you'll see me the way you did when your back was turned." And no sooner had she said it than she was almost completely undressed, with the flame licking her long copper skin. "I've always wanted to see you like that, with the skin of your belly full of deep pits, as if you'd been beaten." And before I realized that my words had become clumsy at the sight of her nakedness she became motionless, warming herself on the globe of the lamp, and she said: "Sometimes I think I'm made of metal." She was silent for an instant. The position of her hands over the flame varied slightly. I said: "Sometimes in other dreams, I've thought you were only a little bronze statue in the corner of some museum. Maybe that's why you're cold." And she said: "Sometimes, when I sleep on my heart, I can feel my body growing hollow and my skin is like plate. Then, when the blood beats inside me, it's as if someone were calling by knocking on my stomach and I can feel my own copper sound in the bed. It's like- -what do you call it--laminated metal." She drew closer to the lamp. "I would have liked to hear you," I said. And she said: "If we find each other sometime, put your ear to my ribs when I sleep on the left side and you'll hear me echoing. I've always wanted you to do it sometime." I heard her breathe heavily as she talked. And she said that for years she'd done nothing different. Her life had been dedicated to finding me in reality, through that identifying phrase: "Eyes of a blue dog." And she went along the street saying it aloud, as a way of telling the only person who could have understood her:

"I'm the one who comes into your dreams every night and tells you: 'Eyes of a blue dog.'" And she said that she went into restaurants and before ordering said to the waiters: "Eyes of a blue dog." But the waiters bowed reverently, without remembering ever having said that in their dreams. Then she would write on the napkins and scratch on the varnish of the tables with a knife: "Eyes of a blue dog." And on the steamed-up windows of hotels, stations, all public buildings, she would write with her forefinger: "Eyes of a blue dog." She said that once she went into a drugstore and noticed the same smell that she had smelled in her room one night after having dreamed about me. "He must be near," she thought, seeing the clean, new tiles of the drugstore. Then she went over to the clerk and said to him: "I always dream about a man who says to me: 'Eyes of a blue dog.'" And she said the clerk had looked at her eyes and told her: "As a matter of fact, miss, you do have eyes like that." And she said to him: "I have to find the man who told me those very words in my dreams." And the clerk started to laugh and moved to the other end of the counter. She kept on seeing the clean tile and smelling the odor. And she opened her purse and on the tiles with her crimson lipstick, she wrote in red letters: "Eyes of a blue dog." The clerk came back from where he had been. He told her: Madam, you have dirtied the tiles." He gave her a damp cloth, saying: "Clean it up." And she said, still by the lamp, that she had spent the whole afternoon on all fours, washing the tiles and saying: "Eyes of a blue dog," until people gathered at the door and said she was crazy.

Now, when she finished speaking, I remained in the corner, sitting, rocking in the chair. "Every day I try to remember the phrase with which I am to find you," I said. "Now I don't think I'll forget it tomorrow. Still, I've always said the same thing and when I wake up I've always forgotten what the words I can find you with are." And she said: "You invented them yourself on the first day." And I said to her: "I invented them because I saw your eyes of ash. But I never remember the next morning." And she, with clenched fists, beside the lamp, breathed deeply: "If you could at least remember now what city I've been writing it in."

Her tightened teeth gleamed over the flame. "I'd like to touch you now," I said. She raised the face that had been looking at the light; she raised her look, burning, roasting, too, just like her, like her hands, and I felt that she saw me, in the corner where I was sitting, rocking in the chair. "You'd never told me that," she said. "I tell you now and it's the truth," I said. >From the other side of the lamp she asked for a cigarette. The butt had disappeared between my fingers. I'd forgotten I was smoking. She said: "I don't know why I can't remember where I wrote it." And I said to her: "For the same reason that tomorrow I won't be able to remember the words." And she said sadly: "No. It's just that sometimes I think that I've dreamed that too." I stood up and walked toward the lamp. She was a little beyond, and I kept on walking with the cigarettes and matches in my hand, which would not go beyond the lamp. I held the cigarette out to her. She squeezed it between her lips and leaned over to reach the flame before I had time to light the match. "In some city in the world, on all the walls, those words have to appear in writing: 'Eyes of a blue dog," I said. "If I remembered them tomorrow I could find you." She raised her head again and now the lighted coal was between her lips. "Eyes of a blue dog," she sighed, remembered, with the cigarette drooping over her chin and one eye half closed. The she sucked in the smoke with the cigarette between her fingers and exclaimed: "This is something else now. I'm warming up." And she said it with her voice a little lukewarm and fleeting, as if she hadn't really said it, but as if she had written it on a piece of paper and had brought the paper close to the flame while I read: "I'm warming," and she had continued with the paper between her thumb and forefinger, turning it around as it was being consumed and I had just read ". . . up," before the paper was completely consumed and dropped all wrinkled to the floor, diminished, converted into light ash dust. "That's better," I said. "Sometimes it frightens me to see you that way. Trembling beside a lamp."

We had been seeing each other for several years. Sometimes, when we were already together, somebody would drop a spoon outside and we would wake up. Little by little we'd been coming to understand that our friendship was subordinated to things, to the simplest of happenings. Our meetings always ended that way, with the fall of a spoon early in the morning.

Now, next to the lamp, she was looking at me. I remembered that she had also looked at me in that way in the past, from that remote dream where I made the chair spin on its back legs and remained facing a strange woman with ashen eyes. It was in that dream that I asked her for the first time: "Who are you?" And she said to me: "I don't remember." I said to her: "But I think we've seen each other before." And she said, indifferently: "I think I dreamed about you once, about this same room." And I told her: "That's it. I'm beginning to remember now." And she said: "How strange. It's certain that we've met in other dreams."

She took two drags on the cigarette. I was still standing, facing the lamp, when suddenly I kept looking at her. I looked her up and down and she was still copper; no longer hard and cold metal, but yellow, soft, malleable copper. "I'd like to touch you," I said again. And she said: "You'll ruin everything." I said: "It doesn't matter now. All we have to do is turn the pillow in order to meet again." And I held my hand out over the lamp. She didn't move. "You'll ruin everything," she said again before I could touch her. "Maybe, if you come around behind the lamp, we'd wake up frightened in who knows what part of the world." But I insisted: "It doesn't matter." And she said: "If we turned over the pillow, we'd meet again. But when you wake up you'll have forgotten." I began to move toward the corner. She stayed behind, warming her hands over the flame. And I still wasn't beside the chair when I heard her say behind me: "When I wake up at midnight, I keep turning in bed, with the fringe of the pillow burning my knee, and repeating until dawn: 'Eyes of a blue dog.'"

Then I remained with my face toward the wall. "It's already dawning," I said without looking at her. "When it struck two I was awake and that was a long time back." I went to the door. When I had the knob in my hand, I heard her voice again, the same, invariable. "Don't open that door," she said. "The hallway is full of difficult dreams." And I asked her: "How do you know?" And she told me: "Because I was there a moment ago and I had to come back when I discovered I was sleeping on my heart." I had the door half opened. I moved it a little and a cold, thin breeze brought me the fresh smell of vegetable earth, damp fields. She spoke again. I gave the turn, still moving the door, mounted on silent hinges, and I told her: "I don't think there's any hallway outside here. I'm getting the smell of country." And she, a little distant, told me: "I know that better than you. What's happening is that there's a woman outside dreaming about the country." She crossed her arms over the flame. She continued speaking: "It's that woman who always wanted to have a house in the country and was never able to leave the city." I remembered having seen the woman in some previous dream, but I knew, with the door ajar now, that within half an hour I would have to go down for breakfast. And I said: "In any case, I have to leave here in order to wake up."

Outside the wind fluttered for an instant, then remained quiet, and the breathing of someone sleeping who had just turned over in bed could be heard. The wind from the fields had ceased. There were no more smells. "Tomorrow I'll recognize you from that," I said. "I'll recognize you when on the street I see a woman writing 'Eyes of a blue dog' on the walls." And she, with a sad smile--which was already a smile of surrender to the impossible, the unreachable--said: "Yet you won't remember anything during the day." And she put her hands back over the lamp, her features darkened by a bitter cloud. "You're the only man who doesn't remember anything of what he's dreamed after he wakes up."

taken from: Classic Short Stories

Labels:

posted by Usman Didi Khamdani

The Raven

-- Edgar Allan Poe --

Once upon a midnight dreary, while I pondered, weak and weary,
Over many a quaint and curious volume of forgotten lore,
While I nodded, nearly napping, suddenly there came a tapping,
As of some one gently rapping, rapping at my chamber door.
"'Tis some visitor," I muttered, "tapping at my chamber door-
Only this, and nothing more."

Ah, distinctly I remember it was in the bleak December,
And each separate dying ember wrought its ghost upon the floor.
Eagerly I wished the morrow;- vainly I had sought to borrow
From my books surcease of sorrow- sorrow for the lost Lenore-
For the rare and radiant maiden whom the angels name Lenore-
Nameless here for evermore.

And the silken sad uncertain rustling of each purple curtain
Thrilled me- filled me with fantastic terrors never felt before;
So that now, to still the beating of my heart, I stood repeating,
"'Tis some visitor entreating entrance at my chamber door-
Some late visitor entreating entrance at my chamber door;-
This it is, and nothing more."

* * *

Presently my soul grew stronger; hesitating then no longer,
"Sir," said I, "or Madam, truly your forgiveness I implore;
But the fact is I was napping, and so gently you came rapping,
And so faintly you came tapping, tapping at my chamber door,
That I scarce was sure I heard you"- here I opened wide the door;-
Darkness there, and nothing more.

Deep into that darkness peering, long I stood there wondering, fearing,
Doubting, dreaming dreams no mortals ever dared to dream before;
But the silence was unbroken, and the stillness gave no token,
And the only word there spoken was the whispered word, "Lenore!"
This I whispered, and an echo murmured back the word, "Lenore!"-
Merely this, and nothing more.

Back into the chamber turning, all my soul within me burning,
Soon again I heard a tapping somewhat louder than before.
"Surely," said I, "surely that is something at my window lattice:
Let me see, then, what thereat is, and this mystery explore-
Let my heart be still a moment and this mystery explore;-
'Tis the wind and nothing more."

* * *

Open here I flung the shutter, when, with many a flirt and flutter,
In there stepped a stately raven of the saintly days of yore;
Not the least obeisance made he; not a minute stopped or stayed
he;But, with mien of lord or lady, perched above my chamber door-
Perched upon a bust of Pallas just above my chamber door-
Perched, and sat, and nothing more.

Then this ebony bird beguiling my sad fancy into smiling,
By the grave and stern decorum of the countenance it wore.
"Though thy crest be shorn and shaven, thou," I said, "art sure no craven,
Ghastly grim and ancient raven wandering from the Nightly shore-
Tell me what thy lordly name is on the Night's Plutonian shore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

Much I marvelled this ungainly fowl to hear discourse so plainly,
Though its answer little meaning- little relevancy bore;
For we cannot help agreeing that no living human being
Ever yet was blest with seeing bird above his chamber door-
Bird or beast upon the sculptured bust above his chamber door,
With such name as "Nevermore."

But the raven, sitting lonely on the placid bust, spoke only
That one word, as if his soul in that one word he did outpour.
Nothing further then he uttered- not a feather then he fluttered-
Till I scarcely more than muttered, "other friends have flown before-
On the morrow he will leave me, as my hopes have flown before."
Then the bird said, "Nevermore."

* * *

Startled at the stillness broken by reply so aptly spoken,
"Doubtless," said I, "what it utters is its only stock and store,
Caught from some unhappy master whom unmerciful Disaster
Followed fast and followed faster till his songs one burden bore-
Till the dirges of his Hope that melancholy burden bore
Of 'Never- nevermore'."

But the Raven still beguiling all my fancy into smiling,
Straight I wheeled a cushioned seat in front of bird, and bust and door;
Then upon the velvet sinking, I betook myself to linking
Fancy unto fancy, thinking what this ominous bird of yore-
What this grim, ungainly, ghastly, gaunt and ominous bird of yore
Meant in croaking "Nevermore."

This I sat engaged in guessing, but no syllable expressing
To the fowl whose fiery eyes now burned into my bosom's core;
This and more I sat divining, with my head at ease reclining
On the cushion's velvet lining that the lamplight gloated o'er,
But whose velvet violet lining with the lamplight gloating o'er,
She shall press, ah, nevermore!

* * *

Then methought the air grew denser, perfumed from an unseen censer
Swung by Seraphim whose footfalls tinkled on the tufted floor.
"Wretch," I cried, "thy God hath lent thee- by these angels he hath sent thee
Respite- respite and nepenthe, from thy memories of Lenore!
Quaff, oh quaff this kind nepenthe and forget this lost Lenore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

* * *

"Prophet!" said I, "thing of evil!- prophet still, if bird or devil!-
Whether Tempter sent, or whether tempest tossed thee here ashore,
Desolate yet all undaunted, on this desert land enchanted-
On this home by horror haunted- tell me truly, I implore-
Is there- is there balm in Gilead?- tell me- tell me, I implore!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

"Prophet!" said I, "thing of evil- prophet still, if bird or devil!
By that Heaven that bends above us- by that God we both adore-
Tell this soul with sorrow laden if, within the distant Aidenn,
It shall clasp a sainted maiden whom the angels name Lenore-
Clasp a rare and radiant maiden whom the angels name Lenore."
Quoth the Raven, "Nevermore."

"Be that word our sign in parting, bird or fiend," I shrieked, upstarting-
"Get thee back into the tempest and the Night's Plutonian shore!
Leave no black plume as a token of that lie thy soul hath spoken!
Leave my loneliness unbroken!- quit the bust above my door!
Take thy beak from out my heart, and take thy form from off my door!"
Quoth the Raven, "Nevermore."

And the Raven, never flitting, still is sitting, still is sitting
On the pallid bust of Pallas just above my chamber door;
And his eyes have all the seeming of a demon's that is dreaming,
And the lamplight o'er him streaming throws his shadow on the floor;
And my soul from out that shadow that lies floating on the floor
Shall be lifted- nevermore!

taken from: PoeMueseum.org

Labels:

posted by Usman Didi Khamdani



visitors
since Sept 1st 2007